BELAJAR DENGAN METODE TAQLIDY, BERSANAD DAN JELAS KEILMUANNYA

BELAJAR DENGAN METODE TAQLIDY,
BERSANAD DAN JELAS KEILMUANNYA
by: Feri Budiantoro

  
Sebagaimana sebuah paragraf yang terdapat paragraf deduktif maupun induktif, proses pembelajaran pun bisa di analogikan seperti demikian. Dikatakan deduktif bila kalimat inti ada di depan sedangkan induktif kebalikannya. Pembelajaran secara deduktif mendahulukan hal yang sulit dibanding dengan yang mudah, berbalik dengan pembelajarn induktif yang mengedepankan hal yang mudah dulu baru kemudian yang sulit. Keduanya pun sah-sah saja diterapkan dengan argumen masing-masing.

Bagi para pembelajar yang memilih cara deduktif, mereka bepegang bahwa setelah yang sulit dikuasai maka yang mudah pun akan mengikuti. Berbeda dengan yang memilih cara induktif, mereka berkesimpulan bahwa dengan cara ini pembelajaranpun menjadi lebih sistematis, materinya pun lebih mudah dicerna serta efesiensi waktu.

SAKAL (Sekolah Kaligrafi Al-Qur’an) sebagai lembaga yang bisa dibilang masih muda memantapkan diri untuk memilih cara induktif. Dengan memakai manhaj tarbawi yang dirintis oleh guru besar kita Syeikh Belaid Hamidy. Kami memulai pembelajaran kaligrafi dengan khath Riq’ah kemudian khath Diwani. Setelah selesai khath diwani maka pembelajar akan mendapatkan materi Jaly  Diwani. Berikutnya adalah khath Ta’liq baru kemudian khath Naskhi dan Tsuluts. Kesemuanya disampaikan dalam cara yang modern tapi tetap berpegang teguh pada semangat metode taqlidy/klasik. Salah satu hasil dari metode ini adalah sanad dan ijazah.

 Metode Taqlidy

Disebut juga metode klasiky, hal ini tidak lepas dari penggunaannya yang telah dipakai sekian lama oleh kibārul khaththōthīn terdahulu. Metode ini disebarkan secara turun menurun dengan pengawasan ketat dari guru yang bersangkutan, sehingga kualitas pembelajar disini tidak diragukan. Sebut saja kaligrafer terakhir era Turki Utsmani Hamid Aytac Al-Amidiy, Ustādzul Jayl Hasan Celeby murid Hāmid yang juga guru dari Syaikh Belaid Hamidiy dan Mikroskop Khath Dawud Bektas. 

Karena metode ini berpusat pada guru (guru merupakan rujukan pertama tempat memperoleh penjelasan mengenai asrorul huruf yang tidak bisa diperoleh dengan hanya melihat kurrasah atau buku pedoman), maka seorang guru disini harus benar-benar kredibel, menguasai benar seluk beluk khath yang diajarkan. Bisa dibayangkan jika seorang guru semisal mempunyai nilai 60 dari total seratus, bagaimana nanti kualitas muridnya kemudian murid dari muridnya, cucu muridnya dan seterusnya. Tentunya secara logika kualitasnya lambatlaun  akan stagnan kalau tidak mau disebut menurun, walaupun tidak menutup kemungkinan dari guru yang kurang kredibel tersebut muncul beberapa murid yang lebih bagus, tapi sekali lagi itu satu banding seribu, jarang sekali terjadi.

Secara singkat teknis metode ini bisa digambarkan sebagai berikut. Seorang guru memberi tugas kepada muridnya untuk menulis sesuatu sesuai dengan kurrasah semisal huruf alif sampai fa’. Maka si murid setelah melakukan tugas, mentashihkan kepada guru bersangkutan, ketika ada salah mengulangi lagi dari awal, begitu seterusnya sampai si murid dinyatakan lulus oleh gurunya. Selama proses pembelajaran murid dilarang untuk menulis sesuatu yang belum di ajarkan hal ini menghindari kesalahan yang mungkin akan sulit diperbaiki, sebab apa yang diperoleh pertamakali dan tanpa ada koreksi akan selalu menancap di hati dan sulit untuk dihilangi. Selain memberikan koreksi dan rahasia huruf ketika proses tashih, guru juga dituntut untuk memberikan penanaman akhlak serta pengetahuan lain semisal sejarah khat, cara pembuatan karya dan lain sebagainya.

 Ketika murid sudah selesai dengan kurrasah khath yang dipelajari, tidak serta merta murid tersebut dikatakan rampung dalam mempelajari khat tersebut. Seorang guru biasanya menyuruh murid untuk mencontoh lauhah atau qit’ah para khattath terdahulu sebelum si murid membuat lauhah sendiri dengan ide maupun kemampuan murninya yang telah diperoleh dari pembelajaran gurunya. Setelah dirasa cukup dengan kemampuan mustawa yang telah ditentukan murid diberi tugas akhir biasanya berupa hilyah syarifah atau qit’ah. Tugas akhir itulah yang nantinya menjadi ijazah seorang murid.

  Ijazah

Ijazah itu secara umum bisa dikatakan sebagai pemberian kewenangan/perkenan kepada seorang murid untuk mengajarkan khath tertentu setelah gurunya puas dengan kemampuan dan penguasaan murid atas khath tersebut. Dalam ijazah tersebut dinyatakan bahwa si murid diperbolehkan untuk mencantumkan namanya maupun tauqi’nya (tandatangan)  di bawah tulisannya. Perlu diketahui bahwa seorang murid dilarang mencamtumkan tauqi’ dalam karyanya sebelum ia selesai mendapat ijazah dari gurunya. Dengan adanya pernyataan tersebut maka secara tidak langsung si murid berhak menyandang gelar khattath dengan berbagai konsekuensinya.

Ijazah mempunyai bermacam-macam redaksi dalam penulisannya. Sebagian besar menggunakan format sebagai berikut,
-   Basmalah atau ayat Qur-an atau Pujian terhadap Allah
-   Shalawat kepada Nabi
-   Nama murid dan pernyataan telah belajar dari guru bersangkutan
-   Pernyataan ijazah
-   Nama guru dengan sanad keilmuannya
-   Doa
-   Tanggal dan tempat dikeluarkan ijazah
Contoh nash ijazah (milik ust. Zainuddin pada khath jali diwani dan diwani) yang telah ditranslete kedalam bahasa Indonesia, “Bismillāhirrahmānirrahīm wa shalātu wa salāman dā-imaini ‘ala sayyidinā muhammadin wa ‘ala ālihi wa shahbihī afdhalal umam… Amma ba’du. Penulis Qit’ah mubārakah ini yaitu saudara Muhammad Zainuddin bi Ahmad telah menempuh pelajarannya dengan seksama dan tulisannya sesuai dengan apa yang telah diajarkan gurunya. Kami memberi Ijazah (kewenangan) untuk membubuhkan namanya disetiap tulisannya. Saya Belaid Hamidiy dan saya Jamal Binsaid (muayyid/pendukung). Murid dari Ali Alparslan, murid dari Musthafa Hālim Ozyazicy, murid dari Farid Bik. Ghafarallāhu lahum. Ditetapkan di Kairo pada permulaan bulan Muharram tahun 1433 Hijriyyah”.

Ijazah merupakan salah satu wujud nyata dari kesungguhan murid dalam belajar, suatu proses yang tidak bisa disebut sebentar ataupun instan. Tapi, ketika murid sudah mendapat ijazah bukan berarti belajarnya usai melainkan ijazah itu adalah pintu masuk untuk menyelami khath lebih dalam lagi, guru hanya mengantar dan membimbing sehingga bisa sampai ke pintu tersebut. Setelah itu murid bisa leluasa meng-eksplore lebih lanjut pengetahuannya dari berbagai sumber, tentunya dengan tidak melupakan guru yang telah membimbingnya.

Ijazah juga merupakan bentuk legalitas sanad keilmuan yang diperoleh dari gurunya. Murid menimba ilmu dari gurunya, gurunya menimba ilmu dari guru sebelumnya, dengan jalan sanad yang bersambung sampai kepada murid tersebut. Dan semua orang selalu meneliti dari siapa murid menimba ilmunya. Dengan demikian, si murid adalah penjaga-penjaga ilmu dan sebagai pintu gerbangnya. Sebuah maqalah mengatakan, “Janganlah kalian memasuki rumah kecuali dari pintunya, barang siapa yang memasuki rumah tidak melalui pintunya, disebut pencuri.

Ijazah sendiri ada dua macam, ijazah masyq dan ijazah tabarruk wa taqdir (ijazah penghargaan). Yang dibahas di atas adalah ijazah masyq yaitu ijazah yang didapat karena telah menyelesaikan belajar dari guru. Sedangkan ijazah tabarruk wa taqdir itu semisal ijazah yang diterima khaththath Hasyim al-Baghdadi oleh Hamid Aytac al-Amidy. Jadi bisa dikatakan Hasyim al-Baghdady tidak bisa disebut murid Hamid Aytac al-Amidy dalam pengertian murid yang belajar dari gurunya asrar tulisan dari awal sampai akhirnya mendapat ijazah.

 Pentingnya Sanad

Sanad adalah silsilah atau rantai yang menyambungkan kita dengan yang sebelum kita, secara bahasa sanad adalah hubungan. Sanad merupakan sesuatu yang terkait kepada sesuatu yang lain atau sesuatu yang bertumpu pada sesuatu yang lain, tapi didalam maknanya ini secara istilahi adalah bersambungnya ikatan bathin kita, bersambungnya ikatan perkenalan kita dengan orang lain, sebagian besar adalah guru-guru kita. Sanad hadits misalnya mengambil dari fulan, dari fulan, dari fulan itu salah satu contoh sanad dan sanad kita sanad keguruan dari guru saya, guru saya dari gurunya, dari gurunya, dari gurunya, sampai Rasul shallallāhu 'alaihi wasallam.

Imam Syafi’i ~rahimahullāh mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullāh mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”

"Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yg tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw," (Habib Munzir)

Dari berbagai pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semua ilmu itu perlu sanad, termasuk dalam mempelajari khath. Sebab bukan hanya keilmuan saja yang bersambung melainkan juga akhlaq, ikatan perasaan antara guru dengan murid. Guru selain bertanggung jawab akan keilmuan si murid juga bertanggung jawab atas akhlaq muridnya sampai akhir hayatnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Yaqut al-Musta’shimy yaitu “Al-khaththu handasatun ruhāniyyatun dhaharat bi ālatin jismāniyah”. Artinya penekanan pembelajaran khath disini selain dari segi keilmuan juga menyentuh pada olah jiwa, penghalusan dan pembagusan akhlaq. Tak pelak bahwa khath merupakan seni warisan budaya Islam yang wajib kita banggakan dan pertahankan dengan sumber yang jelas.

Metode taqlidy merupakan metode lintas zaman yang tak lekang oleh waktu. Penggunaanya dari masa ke masa dari awal berkembangnya khath sampai sekarang pun masih tetap relevan untuk diterapkan, tentunya dengan berbagi bentuk rupa yang telah diubah sesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan tanpa merubah semangat dan pokok dari metode tersebut. Dengan salah satu hasil berupa Ijazah dan juga Sanad yang jelas maka keilmuan dari seseorang yang menempuh metode ini dapat di pertanggung jawabkan. Dengan metode ini khath akan terjaga kemurniannya.
Karena dalam metode ini peran guru sangatlah penting, maka tidak berlebihan jika taqlidy  merupakan metode yang tepat untuk pembelajaran kaligrafi. Seperti dalam maqalah, “al-khaththu makhfiyyun fiy ta’ālimil ustadz waqiwāmuhu fiy katsratil masyq wa dawāmuhu ‘alad dīnil islām”. bahwa “khath itu tersembunyi dalam pengajaran guru dan tegaknya adalah dengan banyaknya latihan serta langgengnya berdasarkan agama islam”.
Dari metode inilah muncul para pembesar-pembesar khaththath yang berpengaruh di zamannya. Tak hanya diakui keluasan ilmu maupun hasil karyanya melainkan juga akhlaq perilakunya. Dengan ini, masih ragukah kita terhadap metode ini?